Minggu, 31 Oktober 2010

PUISI MALAM

MALAM  JUM’AT
By M.Syahri Nurwahab

hujan turun deras mengguyur,
melebur dosa orang yang syukur,
tekun berdoa dimalam jum'at
bekerja keras mengejar manfaat
sampai terkantuk dia tak mengeluh
orang banyak dia peduli penuh
setiap malam dia bersimpuh
berdzikir, istighfar, bertasbih, bertakbir
sampai menjelang malam berakhir......

dipersembahkan khusus untuk sahabatku di Bogor

Wacana Lokal SM ( dimuat 11 Oktober 2010 )


Suara Merdeka Setahun Kedepan.
Oleh M.Syahri Nurwahab

Baru 4 bulan lagi Suara Merdeka akan genap berusia 61 tahun, tepatnya 11 Februari 2011. Dan itu bukan waktu yang terlalu panjang untuk melakukan sesuatu untuk kemajuan keberadaanya.

Umur 61 tahun bagi sebuah koran adalah usia yang sudah cukup tua dan jarang sekali sebuah penerbitan surat kabar bisa bertahan, seingat penulis hanya beberapa surat kabar tua yang masih hidup saat ini seperti, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat dan tentu saja Kompas. Selainnya adalah koran baru yang mungkin belum mencapai usia 25 tahun.

Sebuah prestasi yang membanggakan bahwa koran kita, Suara Merdeka yang berdiri sejak tanggal 11 Februari tahun 1950, bisa bertahan sampai hari ini. Ini sebuah berkah, sebuah keajaiban. Mengingat perjuangan berat para pengasuhnya melintasi jaman sulit. Bukan saja sulit secara ekonomis tapi juga sulit secara politis dimana banyak koran mati atau dimatikan pada saat pemerintahan Orde Baru. Ada yang mati karena kesulitan permodalan dan pemasaran tapi juga mati karena berhadapan dengan pisau breidel yang sangat tajam pada jamannya.

Ingat koran Sinar Harapan yang waktu itu sudah besar dan menasional juga rontok karena diiris oleh pisau breidel SIUP dan baru bisa hidup kembali dengan nama baru Sinar Pembaruan yang nuansa dan momentumnya sudah kalah jauh dengan Kompas yang berwatak kalem dan tahu diri. Seingat penulis waktu itu Kompas sudah kalah besar dengan Sinar Harapan. Lepas dari koran lain, mari kita menengok koran Suara Merdeka yang kini sudah dipimpin usahanya oleh sang cucu dari pendiri beliau bapak Hetami almarhum. Kita mengakui pada saat ini Suara Merdeka adalah yang terbesar di Jawa Tengah.Namun seberapa besarnya saat ini penulis masih merasa ada yang kurang bagi koran kecintaan kita bersama.

Terbukti sengaja apa tidak nyatanya Jawa Tengah bisa terserang oleh koran Propinsi lain yang cukup mempengaruhi pangsa pasar koran di proipnsi ini, karena mereka bisa merambah hampir tiap eks karesidenan dengan nama yang melekat dengan nama ibukota karesidenan. Oleh karenanya Suara Merdeka perlu berfikir bahwa dimasa mendatang pasar itu harus direbut kembali dengan daya dan upaya yang antara lain sebagai berikut.

Pertama, Suara Merdeka harus terdepan mengabarkan, baik nasional maupun lokal Jawa Tengah. Bukan berarti,meniru motto sebuah televisi nasional. Memang ketercepatan sajian berita itu sangat penting. Bila di tv, radio bahkan internet sudah ada berita yang muncul pada sore dan malam hari,namun kita semua tahu bahwa mereka hanya menyampaikan berita pada garis besarnya saja, sedangkan koran dengan cara cepat, cermat dan cerdik dari sang wartawan bisa saja menyajikan berita yang sungguh sangat lengkap dan berimbang dari berbagai sumber, sehingga para pembaca bisa terpuaskan dengan mengetahui detil berita yang dimuat saat itu.,

Kedua, Suara Merdeka harus bisa merambah setiap pelosok desa di Jawa Tengah yang berjumlah 8.560. Bila saja tiap desa kemasukan misalnya 100 exemplar,jadilah koran kita ini bisa menjadi “raja” ditahun depan dengan tiras hampir 1 juta exemplar. Hal ini tidak terlalu sulit untuk mencapainya karena 100 pelanggan bisa terdiri dari perorangan , lembaga pemerintah, kantor-kantor dinas, perusahaan, kelompok masyarakat, lembaga desa, komunitas seni budaya, pemuda, lembaga pendidikan dan sebagainya. 

Ketiga , semestinya setiap wartawan dan juga karyawan Suara Merdeka agar bisa berperan sebagai pemasar secara langsung atau tidak langsung untuk mengembangakan peningkatan pelanggan. Hal ini jangan hanya didiamkan begitu saja bertahun-tahun seperti keadaan sekarang yang seolah keuntungan perusahaan hanya bertumpu pada pemuatan iklan. Siapa saja yang ingin dimuat atau dikenalkan usahanya dimohon berlangganan satu bulan terlebih dahulu misalnya, ini ringan bagi mereka,kan hanya 70.000 rupiah siapa yang tidak kuat. Dengan cara imbal prestasi ini kedua-duanya untung.

Keempat, dengan tiras yang cukup besar secara otomatis harga langganan bisa diturunkan  sedikit demi sedikit , apalagi dengan tiras yang tinggi para pemasang iklan sungguh sangat terpuaskan. Tiap kecamatan harus ada agen yang ulung sehingga bisa menguasai dan mengatur penghantaran koran ke titik lokasi pelangan dengan cepat dan tidak terlalu siang. Apapun bisa dilakukan karena hampir semua desa sudah bisa terjangkau dengan transportasi.

Harapan mulia,

Dengan empat cara atau banyak lagi yang bisa ditambahkan oleh pihak manajemen, penulis yakin harapan ini bisa menjadi kenyataan, karena peribahasa mengatakan jika ada kemauan pasti ada jalan. Semua pihak harus merasa mempunyai koran ini, bukan saja hanya sebagai pekerja tetapi disuatu saat yang tepat bisa saja private enterprise ini akan menjadi members enterprise atau lebih luas menjadi public enterprise.hingga perkembangan perusahaan akan berdampak sangat positif bagi wartawan karyawan dan pihak-pihak yang peduli dengan usaha persurat kabaran ini.

Penulis bayangkan, ditahun depan bila  matahari terbit di ufuk timur kita melihat Suara Medekah sudah ditangan pembaca dibaca sambil menikmati secangkir kopi, melihat berita sebelum beraktivitas pada hari itu. Semua orang sepagi mungkin sudah mengetahui apa yang dimuat koran dan juga mengetahui beberapa jadwal yang bisa menunjang kegiatan mereka  sehari-hari. Mungkinklah hal ini terjadi semua terpulang kepada penentu kebijakan di perusahaan yang cukup sudah tua ini. Semula hanya angan-angan kemudian akan menjadi kenyataa. Sebuah harapan yang mulia didepan mata. Semoga.

   
M.SYAHRI NURWAHAB
Pegiat Forum Penulis Kebumen.

Rita yang malang seri 2 ( sebuah cerita pendek )

RITA YANG MALANG ( Bag. 2 )
oleh Syahri Wahab pada 03 Oktober 2010 jam 9:35

Namanya Mayorita Sumadi, usianya baru diatas 40 tahunan. Wajah manis,badannya gemuk tidak kuruspun bukan, hidung cukup mancung, orang bilang dia cantik, luwes, suaranya lantang nyaring. Pembawaannya supel, ramah , sopan terhadap sesama baik atasan ataupun bawahan serta sahabat kenalannnya. Sumadi adalah nama kekasih atau yang sekarang menjadi suaminya, usia sekitar 50 tahun. Konon dahulu sebenarnya Rita tidak begitu mencintainya, namun demi menghormati orang tua dia terpaksa melakoninya. Orang tuanya mempunyai keinginan agar Rita tidak sengsara di kemudian hari, karena Sumadi sudah menjadi pegawai negeri. Seiring berjalannya waktu cintanya tumbuh pelan-pelan hingga tumbuhlah hasil buah kasih 3 orang anak yang cukup manis, sehat dan juga berpendidikan cukup karena soaal biaya tidak menjadi problema. Dua puluh tahun lebih sudah Rita membina rumah tangga dengan Sumadi, cukup tampak bahagia, kemana saja bersama bergandengan tangan bagai tak mau pisah adanya.



Hingga pada suatu saat terjadilah sebuah perubahan, Sumadi yang tadinya gagah perkasa tak tahunya menurut dokter dia mengidap penyakit gula. Badannya pelan-pelan mengurus, tenagapun hilang. Wajah bertambah pucat dan setiap saat keringat dingin mengucur ke seluruh tubuhnya. Tentu saja dia mengambil langkah cepat berobat pada dokter ahli dengan harapan agar penyakintnya segera sirna, tetapi apa mau dikata, karena diabetes termasuk penyakit yang sulit sembuh maka walau sudah berbulan tahun diobati, bukannya sembuh malah sebaliknya. Sekarang sudah pada tingkatan stadium berbahaya. Akhirnya dia menyadari bahwa penyakit datangnya tidak pernah diundang dan diusirpun tak mau segera pergi. Kini dia pasrah apa yang terjadi tetap dijalaninya sembari berobat kemana-mana. Namun dilubuk hati yang paling dalam dia merasa sangat iba karena fungsi organ sangat berkurang termasuk juga pemberian nafkah batin kepada isterinya. Padahal dia sangat tahu bahwa sang isteri masih sangat membutuhkannya. Menangis, menyesal mengapa dia dulu tidak bisa menjaga pola makan dan kurang olah raga sehingga tak terasa penyakit menumpuk sedikit demi sedikit hinga seperti sekarang ini. Sumadi mengiba-iba kepada Rita untuk bisa memaafkan dan memakluminya, walau dalam hati kecilnya dia tidak tega melihatnya.



" Mas apa tidak cari terapi alternantif saja." kata Rita pada suatu sore sambil minum teh bersama di beranda rumahnya." Boleh saja dimana kiranya dik " jawab Sumadi pelan. Lalu Rita menceritakan bahwa temannya memberitahukan dia ada tabib yang katanya sudah berhasil mengobati penyakit yang seperti itu. Singkat kata mereka berdua kemudian mendatangi tabib yang ditunjukkan teman. Beberapa kali sudah mereka berdua berobat kesana, sampai bosan dan lelah tapi belum ada perubahan. Hampir saja Sumadi putus asa kalau dia tidak ingat anak-anak dan Tuhannya, sedikit banyak dia juga termasuk orang yang rajin beribadah apalagi kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dengan masjid di kota itu.Hari demi hari dijalaninya dengan sabar, tawakal pasrah diri dengan Tuhan.Jika itu memang nasibnya Sumadi telah siap untuk menerima takdir apapun. Hanya memang dia selalu khawatir dibalik itu semua, masihkah Rita mencintainya.



Melihat demikian adanya Rita tidak kehilangan akal dia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan baik yang dari tugas kantor maupun kegiatan pribadi lainnya yang juga cukup menyita waktu dan tenaga. Dengan demikian dia bisa melupakan kesedihan yang dideritanya. Namun sebagai wanita pada umur sedemikian juga cukup berat menahan gejolak batin yang begitu menggebu dan datang tak kenal waktu, kerinduan yang mendalam, kehangatan kasih mesra bersama suami. Kalaulah dia tidak ingat anak-anak dan masyarakat sekitar, pastilah dia sudah mencoba melakukan sesuatu yang kurang semestinya. Jalan untuk itu sangatlah terbuka lebar apalagi secara diam2 kolega kantor ada juga yang memperhatikan dan peduli kepadanya. Diluar kantor pun beberapa kenalan secara tidak langsung seolah mengajak kearah sana. Dengan segala cara ditahannya kuat-kuat perasaan itu hingga kalaulah boleh bunuh diri sebagai jalan keluar dan tidak berdosa pastilash hal itu sudah lama dilakukannya.



Pada suatu hari melalui dunia maya dia bisa berkenalan dengan seorang pria yang lebih tua. Tampaknya orang tersebut bisa menjadi tempat mencurahkan rasa walau hanya dalam bahasa kias dan lambang. Karena kearifannya orang tua tersebut merasa bahwa Rita tampak begitu berani berkomunikasi dan mengemukakan masalah kepadanya berarti dia sedang dalam kesulitan. Orang tua tersebut akhirnya maklum dan memberinya bimbingan rohani untuk selalu tabah menjalani cobaan itu. Mereka berdua akhirnya bersahabat di dunia maya dengan cukup dekat, sering bercanda ria, saling menyanjung dengan berbagai sanjungan yang dilontarkan demi menghibur Rita yang malang.



( Tunggu seri berikutnya )

Rita yang malang ( sebuah cerita pendek )

RITA YANG MALANG...
oleh Syahri Wahab pada 04 Oktober 2010 jam 22:41

Dia memang cantik, cerdas dan juga berpunya. Sibuknya bukan main, hampir2 nggak punya waktu untuk keluarga. Teman lama pun hampir saja dilupakan apalagi teman2 yang baru nyaris diabaikan. Maklum hidupnya untuk kerja, kerja dan kerja. Kerja mengendalikan dia bukan sebaliknya. Sedetikpun tak terlewatkan kecuali untuk kerja,berkegiatan sehingga siang dan malam penuh agenda.



Sesungguhnya, kepuasan kerja telah dinikmatinya. Ketemu rekan, sahabat, anak2, remaja dan wanita silih berganti bagaikan mesin kendaraan yang melalap BBM setiap harinya seperti minum air saja layaknya. Rutinitas menyita waktu sehingga dia kadang menjadi bingung apakah hidup ini akan seperti ini terus. Lelah, capai, ngantuk silih berganti badan bagaikan diremuk-remuk rasanya. Tapi bagaimana lagi semua harus dilakukan demi tugas dan sekaligus juga untuk melupakan derita yang diidapnya. Orang lain tiada yang tahu, semuanya tampak biasa2 saja bahkan dipandangan orang malah sangat istimenwa. Dia dibanggakan , dia dipujikan, dia dipuja disana-sini sebagai seorang yang penuh jasa. Memang istimewa.



Dibalik itu, setelah malam tiba, dia baru merasa untuk apa itu semuanya. Kalau keperluan diri sendiri ternyata tak bisa dipenuhi. Dia sebetulnya sepi ditengah keluarga. Sepi ditengah kegiatan, sepi ditengah keramaian. Menderita, menangis tapi mau kemana. Apa mau mengambil langkah. Langkah berat yang bisa saja mengagetkan orang dan keluarga, tapi kalau disimpan tetap dalam derita itu bagaimana. Gerangan apa kitranya langkah lanjutnya padahal keinginan telah meronta-ronta datang setiap saat apalagi bila sedang sendiri diruang kamar tidur dirumahnya, yang tampak hanya gambar foto dinding masa lalu yang justru tak terasa membuat air mata jatuh bercucuran, nelangsa sendiri. Ada seseorang yang dulu sungguh perkasa tapi sekarang semua telah berubah. Penyakit menghampirinya sehingga laksana mati didalam hidup. Dia kekasihanya, dia ayah dari anak2nya yang dulu penuh perhatian dan selalu memberikan kehangatan sepenuhnya, kini tak bisa.



Ketika terbangun dari tidur sorenya karena kelelahan seharian bekerja, dia menhampiri kekasihnya . " Gimana mas, apa sudah bisa ? ". Dengan pelan dan memelas sang kekasih menyahut serak. " Jangan ganggu aku tolong...aku belum bisa,maafkan aku sayang." Mendengar jawaban seperti itu, dia langsung menangis terisak, sedih, nelangsa menderita mulutnya berucap lirih. " Ya Allah sampai kapan aku harus begini, apakah aku kuat menjalaninya." Sesudah itu semalam suntuk dia tidak bisa tidur lagi, dunia tampak gelap... Sungguhl malang si Rita ..



( Seri berikut akan berlanjut )