Jumat, 24 September 2010

Selingkuhan Suamiku Selebriti ( Sebuah Cerpen oleh : Sam Edy Yuswanto )

Selingkuhan Suamiku Selebriti

Sabtu, 3 Juli 2010 | 05:11 WIB (dimuat di Kompas.com)

Cerpen: Sam Edy Yuswanto - Anggota FPK

Perempuan itu terlihat begitu tegar sambil sesekali menyeka buliran bening yang meluncur pelan dari kedua sudut matanya yang terlihat kuyu. Ia tak banyak bicara lagi saat para wartawan memberondonginya dengan berjuta pertanyaan urusan pribadi rumah tangganya. Perempuan itu lelah. Lelah dengan tingkah suaminya, seorang pengacara, yang terjerat jalinan cinta terlarang dengan klien-nya sendiri, perempuan yang masih muda, cantik, selebriti papan atas, terpidana kasus narkoba yang kini meringkuk di jeruji besi. Dia juga lelah dengan pertanyaan-pertanyaan para wartawan yang terus menguntitnya kemana pun ia pergi.

“Mbak Dian, gimana perasaan anda saat mengetahui suami anda berpelukan dan berciuman mesra dengan Yuliana,” reporter perempuan berkaca mata itu mencegatnya saat Dian akan masuk mobilnya. “Iya, Mbak. Apakah Mbak Dian akan minta cerai?” tanya yang lainnya.

Ah! Pertanyaan itu lagi. Jenuh rasanya Dian harus menjawabnya. Tak ada yang perlu diklarifikasi lagi. Toh, semua stasiun televisi telah terang-terangan menayangkan adegan tak bermoral yang semestinya tak dilakukan oleh lelaki pengacara seperti suaminya. Pun kabar perselingkuhan yang akhir-akhir ini begitu santer dan jadi topik utama di setiap acara infotainment. Dan sepertinya, mereka, para awak media itu yang lebih tahu – mungkin lebih tepatnya sok tau – informasi mengenai prahara rumah tangganya.

“Maaf, saya buru-buru harus njemput anak saya,” gegas Dian merangsek maju sambil membuka cepat pintu mobil Inova-nya. Tapi para wartawan itu terus memburunya. Kini Dian baru tahu dan merasakan, kenapa para selebriti itu kerap emosi dan mengata-ngatai kotor para wartawan yang – menurutnya – kurang punya etika itu.

“Tapi, jawab dulu dong Mbak, pertanyaan saya, gimana perasaan Mbak saat sua…”“Maaf, Mbak. Saya pikir Mbak sudah tau jawabannya. Sekarang saya mau tanya, apakah Mbak sudah punya suami?” potong Dian cepat, sepertinya kesabarannya hampir khatam, seraya masuk ke dalam mobilnya.

“Iya, Mbak, saya sudah punya suami, anak saya malah dua,” jawab reporter berkaca mata itu.“Gimana reaksi dan perasaan Mbak, jika suami Mbak berciuman dengan perempuan lain di depan mata kepala Mbak sendiri,” kejar Dian.

Reporter perempuan itu terdiam sejenak, nampaknya sedang berfikir. Sepersekian detik berlalu.

“Ya, saya nggak bisa terima dong, Mbak, akan saya labrak perempuan jalang itu karena telah mengganggu rumah tangga orang,” ujar reporter itu tegas.“Nah, Mbak udah tau jawaban dari pertanyaan Mbak sendiri, kan?” pungkas Dian sambil menaikkan kaca jendela mobilnya. “Mbak, Mbak, sebentar, saya mau tanya lagi, apakah Mbak akan menuntut Yuliana yang telah menghancurkan rumah tangga Mbak Dian, Mbak, Mbak Dian, tunggu sebentar Mbak, Mbak!” reporter itu sepertinya masih belum puas menginterogasi lantas mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil Dian.

Wush! Sayangnya mobil Inova itu telah melaju kencang, menyisakan kekecewaan di hati para wartawan infotainment yang tak pernah lelah memburu berita aktual dan penuh sensasi itu.

***

“Mas aku minta cerai,” Dian benar-benar sudah sampai pada puncak kesabaran sore itu.

Restu, suaminya tak bergeming, kaget pun tidak saat istrinya mengucapkan kata ‘cerai.” Pembawaannya begitu tenang, kalem, bak lelaki suci yang sama sekali tak pernah bersentuhan dengan perempuan lain kecuali istrinya sendiri. Huh! Dasar lelaki berdarah dingin, tapi kelakuannya sungguh tengik! Gerutu Dian diam-diam.

“Mas, kamu dengerin aku nggak, sih?” Dian muntab dengan sikap suaminya yang tanpa ekspresi.“Ya, terserah kamu sajalah, memangnya kamu mau makan apa setelah aku ceraikan nanti, hah?” tanyanya santai dengan kedua alis naik beberapa centi. Pembawaannya tetap kalem. Benar-benar Dian tak menyangka suaminya akan melontarkan kata-kata semacam itu.“Oh, jadi kamu pikir aku nggak bakalan bisa nyari duit setelah kamu ceraikan, begitu? Mas, aku sarjana ekonomi. Banyak kantor-kantor yang butuh tenagaku!” darah Dian mendidih.

Restu hanya menyeringai. Lalu…

“Sudahlah, tak usahlah kamu aneh-aneh, pakai minta cerai segala,” katanya enteng.“Apa? Kamu bilang aku aneh? Setelah melihat kamu berciuman di depan kamera para wartawan dengan perempuan jalang murahan yang sedang cari sensasi itu!” teriak Dian berapi-api.“Sudah kukatakan berulang kali, perempuan itu tak ada hubungan apa-apa denganku. Dia hanya klien-ku, tak lebih!” nada Restu mulai meninggi.“Sudahlah, Mas, kamu nggak usah berkelit lagi. Semua orang juga sudah tahu tingkah lakumu di luar sana!” sergah Dian lalu keluar kamar sambil membanting pintu keras-keras.

Di luar kamar, air mata Dian langsung mengurai deras, membanjiri kedua pipi mulusnya. Dian sungguh bingung, tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mempertahankan rumah tangganya yang nyaris karam. Yang ia ingin hanyalah punya keluarga yang tenang, tanpa kehadiran orang ketiga. Padahal, sepengetahuannya, selama ini Restu adalah suami yang baik tak macam-macam saat di luar rumah.

Beberapa kali sudah suaminya menangani kasus para selebriti cantik-cantik yang tersandung masalah. Tapi baru kali ini ia tergoda oleh rayuan binal klien-nya sendiri. Sungguh, Dian tak habis pikir, perempuan macam apa klien-nya suaminya itu. Kemanakah nurani keperempuannya hingga ia begitu tega merebut suami orang? Bahkan perempuan bernama Yuliana itu blak-blakan bilang ke muka umum kalau ia benar-benar sayang dan cinta sama suaminya. Sepertinya cinta telah menggelapkan segalanya. Bahkan Yuliana terang-terangan bicara di depan umum kalau ia tak peduli lagi dengan cap ‘perebut suami orang’ yang kerap ditujukan padanya.

Sejujurnya dalam hati kecil Dian, ia sama sekali tak ingin bercerai dari suaminya. Seandainya suaminya terbukti selingkuh pun, dia akan mencoba memaafkan asalkan tak diulanginya lagi. Itu semua ia lakukan demi Nana, anak gadis semata wayangnya. Dian tak ingin Nana menjadi anak yatim, seperti dirinya, yang sedari kecil tak bisa merengkuh kasih sayang seorang ayah, karena ayah keburu meninggal saat ia baru berusia dua setengah bulan.

***

“Maa, tadi Nana lihat Papa ciuman dengan perempuan cantik di teve, perempuan itu siapa sih Maa, saudaranya Papa ya, kok Nana nggak kenal,” pertanyaan polos Nana malam itu sungguh membuat ulu hati Dian seperti tersilet-silet. Perih. Dian tak tahu, harus menanggapi bagaimana tentang pertanyaan Nana, anak gadis semata wayangnya yang baru kelas lima SD.

“Ma, kok diam saja, perempuan itu siapa sih, Ma,” tanya Nana lagi membuat kedua kelopak mata Dian langsung mengembun. Namun ia mencoba tetap tersenyum. Dia harus terlihat tegar di depan anaknya. Lalu, direngkuhnya pelan kepala Nana dan membenamkannya ke dalam pelukannya.

“Na, perempuan itu teman kerjanya Papa,” hanya itu yang terucap dari mulut Dian seraya mengelus-elus pelan rambut Nana.

“Kok Papa mesra banget sama teman kerjanya, Ma. Pakai peluk dan ciuman segala. Oh, iya Ma, tadi Nana dengar di teve, katanya Papa selingkuh. Selingkuh itu apa sih, Ma,” tanya Nana lebih jauh.

Oh, Tuhan! Sungguh Dian tak menyangka, kalau anak gadisnya akan melontarkan pertanyaan yang tak pernah Dian duga sama sekali. Dan kali ini, Dian tak kuasa lagi menahan butir-butir bening yang langsung menggenangi pelupuk matanya, mewakili jawaban atas pertanyaan anaknya. Kalau bukan karena Nana, tentu sudah sedari dulu ia melayangkan gugatan cerai pada suaminya dan melabrak perempuan laknat yang doyan menggoda suami orang itu di penjara.

***

Kebumen, 13 Februari 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar