Jumat, 05 Februari 2010

Tlisan Sukron Makmun

Wacana Lokal

Tanggung Jawab Institusi Persepakbolaan

Oleh Sukron Makmun

Bonek atau bondho nekat, kelompok suporter fanatik kesebelasan Persebaya Surabaya kembali bikin ulah. Hanya kali ini, amuk itu tak terjadi di dalam kota di mana markas (home base) tim berjuluk Bajul Ijo berada, sebagaimana yang sudah-sudah. Akan tetapi justru di stasiun-stasiun yang dilewati rute KA Pasundan yang mengangkut mereka dari Surabaya menuju Bandung pergi-pulang.

Di beberapa stasiun pemberhentian itu mereka kedapatan ramai-ramai menjarah, serta merusak sejumlah fasilitas umum, bahkan melempari orang-orang dengan batu, sehingga mengakibatkan korban luka-luka serius dan harus dirawat. Di pihak mereka pada akhirnya juga menuai hal yang sama.

Sebab, warga yang sudah cukup jengah dengan kebrutalan mereka lalu merespon dengan memberikan aksi balasan. Di sejumlah stasiun, seperti di Stasiun Jebres, Stasiun Purwosari dan Stasiun Palur Solo, bentrok pun tak terelakkan. Tepatnya sekembali dari mendukung kesebelasan mereka dalam lanjutan laga Indonesian Super League (ISL) di Bandung.

Tak berhenti sampai di situ, korban juga berjatuhan di wilayah-wilayah yang sebenarnya minim potensi bentrokan antarsuporter bola. Seperti di wilayah perbatasan antara Kebumen dan Banyumas. Diberitakan harian ini, seorang suporter tewas akibat terjerembab saat KA hendak memasuki Terowongan Ijo, di Desa Bumiagung, Kecamatan Rowokele, Kebumen (Suara Kedu, 25/01/2010)

Di daerah ini bentrok dan tindak anarkis para bonek mania boleh dikata tak ada sama sekali. Namun demikian, tetap saja terdapat jatuh korban. Bahkan tergolong fatal. Sebab satu nyawa bonek melayang sia-sia gara-gara jatuh dan kepentok tiang sebuah jembatan yang berjarak 300 meter sebelum terowongan. Ia terjatuh akibat panik karena KA dikira tak akan berhenti terlebih dahulu sesaat sebelum memasuki Terowongan Ijo.

Tingkah Rusuh

Tentu saja tingkah rusuh yang berakibat jatuh korban semacam itu bukan untuk pertama kalinya. Seolah ciri khas berupa tingkah urakan, menjarah, serta mengamuk manakala bertemu kelompok suporter lain yang sama sekali jauh dari nilai sportivitas ini, terus terpelihara dan terus melekat di benak para bonek mania. Bahkan makin hari ekskalasinya cenderung meningkat.

Sebab, pelbagai tindakan yang sudah mengarah pada perilaku mengganggu ketertiban umum tersebut terjadi hingga pada saat mereka berada di tengah perjalanan melewati kota-kota lain yang jaraknya mencapai ratusan kilo meter dari kota asal mereka. Tanpa ewuh ataupun rasa sungkan dan apalagi rasa malu mereka selalu berulah dan membikin orang-orang yang menyaksikannya acapkali miris dan tak sedikit pula yang berubah menjadi geregetan.

Ketegasan

Kasus kekerasan maupun berbagai tindak yang memicu terjadinya situasi yang sukar dikendalikan, memang senantiasa menjadi semacam duri dalam daging di kancah persepakbolaan Tanah Air. Mulai kisruh antarpemain di lapangan yang berselisih, lalu terlibat adu jotos hingga bentrok, dan saling lempar batu di antara kelompok suporter di luar arena bahkan di luar stadion.

Ketegasan seperti selama ini kerap didengung-dengungkan serta diberlakukan ternyata belum menjadi formula manjur guna meredakan potensi kekerasan yang bisa terjadi hingga ratusan kilo meter jaraknya dari “titik episentrum” di mana 90 menit laga sebuah permainan sepak bola diselenggarakan. Bisa dibayangkan betapa ironisnya, sebuah laga yang berlangsung damai di Stadion Si Jalak Harupat Soreang Kabupaten Bandung, namun sekelompok suporter tim tamu justru membuat drama keonaran di sejumlah lokasi yang kebetulan disinggahi.

Kerugian materi hingga jiwa sampai saat ini rupanya belum memicu pihak-pihak di internal kelompok suporter maupun para stakeholder persepakbolaan menyadari untuk kemudian mengambil langkah-langkah strategis guna mengedukasi khususnya kepada para suporter mereka, bahwa fanatisme ekstrem dalam mendukung tim kesayangan sudah berada jauh di luar hakikat sportivitas sebuah pertandingan olah raga. Tak kurang, Sekjen PSSI Nugraha Besoes menyatakan bahwa perilaku para bonek sudah melampaui batas.

Semestinya ke depan mulai diberlakukan sanksi yang lebih tegas lagi baik terhadap perorangan atau terhadap kelompok suporter maupun kesebelasan yang bersangkutan. Sebab apalah artinya gegap-gempita di lapangan jika usai pertandingan selalu dipungkasi tindak anarkis seperti kerap kali terjadi selama ini. Adanya anggapan suporter fanatik adalah salah satu aset penting bagi prestasi sebuah klub sehingga keberadaannya bisa disepadankan laiknya pemain ketiga belas agaknya mesti dikoreksi. Utamanya selagi institusi klub belum bisa menjamin perilaku tertib mereka.

Alhasil jika performa dan kelakuan para suporter tersebut telah menuai cap sebagai biang kerok kekisruhan, maka sanksi tegas, semisal sampai tahap pembekuan klub selama beberapa musim kompetisi ataupun juga denda yang setimpal atas segala kerusakan dan kerugian di masyarakat pun harus segera diterapkan. Yang kini terjadi, tiap usai kerusuhan suporter, institusi persepakbolaan biasanya banyak yang lepas tanggung jawab.

Sukron Makmun, penulis lepas, bergiat di Forum Penulis Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar