Jumat, 26 Februari 2010

REFORMASI PENDIDIKAN oleh : Suprayitno Ambal - Kebumen

REFORMASI PENDIDIKAN
Oleh : Suprayitno

Hampir semua orang setuju bahwa kemajuan suatu bangsa
tak bisa dilepaskan dengan mutu “pendidikan”.
Pendidikan yang berkualitas, saya rasa ukurannya bukan
pada keberhasilan UN (Ujian Nasional) an sich,tetapi
sejauh manakah output dari pendidikan SDM yang
berkualitas akan mengantarkan negeri ini menjadi negeri
yang mandiri dibidang teknologi, sains, kebudayaan,
politik, ekonomi,pangan, obat-obatan, pertahanan /
keamanan,IT dan aneka kebutuhan rakyat dan negara lainnya.
Pertanyaannya, apakah saat ini kita telah menjadi bangsa
dan negara yang mandiri di bidang-bidang tersebut di
atas? Semakin kita “tergantung” itu artinya mutu pendidikan
kita semakin “mundur”. Karena ternyata output pendidikan
tidak semakin menjadikan bangsa ini menjadi tumbuh kuat dan
mandiri.
.
Ada tiga matarantai dalam proses pendidikan yang harus
dilewati,yakni Sistem Input-Processing-Output (SIPO).
Idealnya, jika sistem input/rekrutmen peserta didik bagus,
proses belajar-mengajar bagus,guru bagus, sarana dan
prasarana bagus, maka outputnya pun pasti akan bagus.
Namun, jika kondisi ideal tersebut tidak semuanya bisa
terpenuhi maka apa yang mesti tidak boleh tidak
(conditio sine qua non) harus dipenuhi? Jawabannya
“guru yang bagus” adalah conditio sine qua non bagi
peningkatan mutu pendidikan. Persoalannya, seberapa
banyak negeri ini memiliki guru yang berkualitas?

Bagaimana ciri-ciri guru yang berkualitas/bagus?
Guru di mata saya ibarat seorang “empu” bukan seorang
"tukang pande besi”. Empu dan tukang pande besi dua-
duanya memang menghasilkan senjata tajam.Bedanya,
empu menghasilkan senjata tajam yang memiliki “ruh”
sementara produk yang dihasilkan oleh tukang pande
besi hanyalah benda-benda tajam tanpa ruh, misal pisau,
clurit, pedang, parang dll.Sebagian besar mutu guru
yang ada di negeri ini hanyalah ibarat tukang Pande Besi,
sehingga outputnya (produknya) merupakan barang-barang
yang memiliki nilai rendah bahkan nyaris tak ada nilainya.
Parameter ini akan tampak jelas pada angka human deve-
lopment index yang masih tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara Asean lainnya.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index
(HDI)adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup,
melek huruf,pendidikan dan standar hidup untuk semua negara
diseluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan
apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh
dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup

Dari Negara-negara yang diteliti oleh UNDP (United Nations
Development Programme), Indonesia masih berada pada urutan
diatas 100. Sebelumnya pada tahun 2005, Indonesia menempati
urutan 110 dari 177 negara,dengan indeks 0.697, turun dari
posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada
tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara
tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796),Thailand
(urutan 73/0.778), Filipina (urutan 84/0.758) dan Vietnam
(urutan 108/0.704).

Berbicara masalah mutu, bisa juga dilihat dari melimpahnya
angka pengangguran kaum terdidik. Sedikitnya 2 juta lulusan
perguruan tinggi baik lulusan program diploma maupun sarjana
menganggur. Hasil survey tenaga kerja nasional 2009 dari
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 4,1 juta atau
sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja terpaksa
menganggur. Hal ini disebabkan karena sebagian besarlulusan
perguruan tinggi tidak memiliki keterampilam nonakademis yang
menunjang kompetensi kerja. Soft skill atau keahlian itu
misalnya keterampilan presentasi, manajemen konflik, berbicara
di depan publik dan kerjasama dalam satu team (Kompas,19/2/10).
Pada umunya proses Pendidikan di negeri kita dilihatnya hanya
sebagai pekerjaan “rutinitas” berdasarkan pedoman kurikulum.
Peserta didik hanya dilihat sebagai “objek” seperti gelas
kosong yang bisa diisi semaunya oleh pemerintah maupun guru.

Guru dimata saya adalah sosok arsitek masa depan sebuah
peradaban bangsa. Jika gurunya baik maka baik pula Pendidikan
di negeri ini.Oleh karena itu guru yang baik mutlak keberadaannya.
Seperti apa guru yang baik? pastilah dia seorang humanis, sabar,
penyayang, futuris,nasionalis, jujur, sederhana, cerdas, kreatif
dan motivator yang ulung -dan yang paling penting mengerti bagai-
mana cara mengajar yang baik.Mengajar yang baik perlu keterampilan
komunikasi yakni membuat yang rumit menjadi mudah dipahami oleh
siswa, dan mampu membangkitkan minat siswa untuk mengerti lebih
jauh tentang hidup dan kehidupan (character building).

Guru harus bisa memahami bahwa, pendidikan adalah suatu usaha
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan yang dimaksud
adalah cerdas moralnya, cerdas spiritualnya, dan cerdas inte-
lektualnya. Ketiga aspek Pendidikan yang meliputi kognisi,
afeksi dan psikomotor harus bisa berkembang secara sinergis,
sehingga produk dari Pendidikan akan melahirkan peserta didik
yang cerdas daya ciptanya, daya rasanya dan daya karsanya.
Malangnya, sejauh ini pendidikan kita “lebih banyak” mengha-
silkan manusia-manusia yang tergantung. Oleh sebab itu menurut
saya sistem pendidikan kita harus direformasi secara mendasar.
Seperti apa bentuk reformasi yang kita usulkan?

Mengubah mind set

Saya analogikan, saat ini sistem pendidikan kita, bagaikan
puzzle yang berantakan, sementara baik pemerintah maupun guru
tidak mampu atau kesulitan menyusunya menjadi sebuah gambar
atau mozaik yang utuh dan indah.

Kesulitan itu bermula karena tidak adanya visi dan koordinasi
yang jelas antara satu bagian dengan bagian lainnya. Mengingat
bahwa Pendidikan adalah sub bagian dari grand design negara,
maka untuk menysusun visi dan misi design pendidikan nasional
mestinya pertama-tama harus ada kesepakatan nasional lebih dulu,
arah negeri ini akan dibawa kemana? Untuk menentukan arah, kita
mesti harus menginventarisir daftar kekayaan/kekuatan negara
kita, kelemahan,kesempatan dan ancaman yang mungkin timbul
(SWOT analysis).

Misalnya, kita inventarisir dulu apa kekuatan negara kita?
sumber-sumber kekuatan itu ada dimana saja? Kalau kekuatan atau
kekayaan itu ada di pertanian, maritime, hutan, dan hasil bumi
lainnya termasuk aneka tambang, maka konsep pendidikan kita
seharusnya sejak awal sudah fokus pada pemberdayaan bangsa
untuk bisa mengolah kekayaan alamnya dengan sedikit demi sedikit
melepaskan ketergantungannya pada modal dan teknologi asing.

Caranya? Sistem Pendidikan harus support untuk mewujudkan cita-
cita itu. Pertanyaannya, apakah sistem Pendidikan kita selama
ini diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dibidang pengu-
asaan sains dan teknologi atau selamanya kita akan dijajah oleh
teknologi dan modal asing? Sebagai contoh bagaimana mungkin
negara agraris yang memiliki tanah pertanian sangat subur dan
memiliki berbagai varietas padi tetapi benih padi pun kita impor
dari China? Hingga kini Indonesia masih tergantung pada impor
induk benih padi hibrida dari China.(Kompas 5/2/10).

Hamid Awaludin Duta Besar RI untuk Rusia menulis, belajarlah
ke Rusia sebab Rusia adalah negara terdepan dibidang penguasaan
teknologi perminyakan dan gas, begitu juga teknologi untuk
mengeksplorasi kekayaan alam lainnya, teknologi angkasa luar dan
satelit,persenjataan dan pertahanan. Hingga sekarang, jumlah
mahasiswa Indonesia yang belajar di Rusia hanya sekitar 105 orang.
Sementara Malaysia jumlah mahasiswanya mencapai 4.000 orang,
Vietnam sekitar 6.000 orang dan China mencapai 10.000 orang
(Kompas, 3/2/10).

Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang mandiri, negara kita mau
tidak mau harus mmperkuat badan research and development disemua
bidang/lini kehidupan. Di sinilah sebenarnya letak permasalahan
yang paling mendasar, sebab tidak bisa dibantah dalam hal riset
dan pengembangan harus kita akui bahwa pendidikan kita justru
sangat lemah di dua aspek tersebut. Padahal, mustahil kemajuan
di berbagai bidang jika tidak ditunjang oleh riset dan pengemba-
ngan. Alih-alih yang terjadi saat ini adalah justru makin marak
kasus penjiplakan dan plagiat yang dilakukan oleh para akademisi.
Akademisi atau seorang ilmuwan boleh saja membuat kekeliruan
tetapi satu hal yang tidak boleh dilakukan adalah “berbohong”.

Riset adalah tulangpunggung kemajuan dibidang ilmu pengetahuan,
tetapi megapa bangsa kita sangat lemah dalam hal riset? Jawabnya,
riset itu susah, riset itu rumit, memerlukan banyak dana bahkan
dana itu kadang tidak terbatas, perlu banyak refrensi, banyak
membaca, kesabaran,ketelitian, ketekunan, harus jujur tidak boleh
bohong,perlu kerja keras, pantang menyerah dan kadang memerlukan
waktu yang sangat lama tetapi belum tentu hasil risetnya seperti
yang diharapkan.

Bangsa kita tidak perlu riset sudah bisa hidup nyaman, pejabat
tanpa perlu riset sudah bisa hidup berkelimpahan. Menanam cabe,
singkong,pohon pisang tak perlu riset sudah tumbuh dan bisa
memetik buahnya.Sementara, bangsa Jepang, China, India dan
Eropa mungkin jika tanpa riset akan mati karena kondisi alamnya
yang ekstrem.

Orientasi bangsa kita cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan
domestic,mangan ora mangan kumpul, tidak berpikir hasil yang
terbaik dan berkesinambungan yang berbasis kepada export oriented,
hal yang tentu saja sangat berbeda jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa yang hidup matinya tergantung pada riset dan export.

Kultur bangsa kita maunya serba instant, meminjam istilah
Koentjoroningrat (1986) mentalitas menerabas, tidak suka membaca,
konsumtif, kurang berpikir metodologis, feodalist, kurang berpikir
logis, kurang mau bekerja keras, mudah menyerah/pasrah dan adanya
kultur mistis yang masih tinggi. Ini adalah kelemahan cultural yang
penanganannya jauh lebih rumit, daripada sekadar membuat pesawat
terbang.

Pendidikan harus mampu menumbuhkembangkan semangat meneliti,
berpikir komprehensif dan logis, gemar membaca, produktif dan
manusia yang berorientasi pada pembangungan di segala aspek
kehidupan bukan manusia yang bersemangat merusak kehidupan
dengan aneka macam kejahatan,ketidakjujuran dan kemunduran
budaya lainnya. Manusia yang mau mengedepankan belajar etika
moral dan sosial.

Bangsa kita termasuk bangsa yang sangat “religius” artinya
orientasi hidupnya lebih lekat dengan mistisisme, sehingga
kurang berani berpikir radikal (menghunjam pada akar persoalan
yang sesungguhnya).Apakah cultural asset seperti ini meru-
pakan kekuatan untuk mendorong kemajuan bangsa atau justru
menjadi penghambat/beban?

Sisi-sisi itulah menurut saya yang perlu diurai satu persatu.
Silakan dibedah melalui kajian imiah akademik, supaya pemetaan
masalahnya menjadi jelas dan valid, bisa dipertanggungjawabkan
dan ada solusinya.

Penulis adalah Ketua LP3N

Tidak ada komentar:

Posting Komentar