Sabtu, 09 Januari 2010

Pilbup Kebumen

PILBUP KEBUMEN MURAH, MUNGKINKAH !

Oleh : M.Syahri Nurwahab

Fen Fenomena Pilbup, Pilgub, Pilpres dan juga Pilkades secara tanpa disadari peristiwa itu pasti akan membawa kesan munculnya biaya yang cukup banyak, bahkan dalam keadaan tertentu bisa tidak masuk akal. Tidak ada dibumi pertiwi ini yang percaya bahwa pesta demokrasi dalam rangka memilih pemimpin bisa murah dan sederhana. Mungkinkah ?

Sebetulnya sejarah pemilihan umum untuk memilih langsung seorang pemimpin terutama bupati/walikota, gubernur dan presiden belumlah cukup berumur satu decade kecuali pemilihan kepala desa secara langsung yang telah berlangsung sejak republic ini berdiri, bahkan sebelum itu. Kesan telah terbentuk, bahwa prosesi pilkades / lurah / pesirah / tetua apapun istilahnya cukup memakan biaya yang tidak sedikit. Karena untuk mencari pengaruh dilingkup desa / nagari banyak cara ditempuh oleh para calon dengan memberikan jamuan makan / minum / rokok pada rakyatnya. Ya sebatas itu pada mulanya, namun zaman terus berjalan yang tadinya hanya sekedar bentuk pengisi perut juga adakalanya selembar pakaian / kain sarung / jarik, berubah ditukar dengan nilai mentahnya saja yaitu berupa uang karena dipandang praktis dan awet untuk digunakan / dikonsumsi dikemudian hari. Jamuan makan minum dan rokok biasanya akan berlangsung sejak si calon mulai menyatakan diri siap maju ke gelanggang pertarungan adu kuat, adu sakti, adu baik dan adu2 yang lain sampai hari penentuan suksesi pemilihan yang telah disepakati bersama. Panitianya kebanyakan diampu oleh perangkat desa dan sedikit peran tokoh. Jaman dulu dapat disebut belum ada tokoh, karena ketokohan seseorang hanya dalam bentuk kepemilikan lahan sawah / garapan, makin luas sawah yang dimiliki makin tinggi derajat ketokohannya, satu desa paling dua tiga orang tuan tanah, maklum karena kita tahu Indonesia terdiri dari ribuan desa agraris. Belum ada desa industri, desa wisata, desa tambang yang ada hanya desa tani. Dan umumnya kepemilikan yang luas ini hanya terdiri kaum satria dan brahmana dalam bentuk lain, yaitu turunan demang atau turunan kyai. Lainnya adalah rakyat atau kawula yang sehari-hari jadi buruh mereka. Sehingga pemilihan kepala desa hanya berkisar antara trah anu melawan trah ini. Setelah menjadi lurah / kepala desa akan bertugas seumur hidup atau sampai wafat. Bisa 20 tahun bahkan ada yang sampai 50 tahun menjabat, masyarakat tenang tidak bergejolak, masyarakat patuh pada aturan desa yang kebanyakan tidak tertulis yang berupa awig2 / pologoro dan aturan adat yang dipegang sangat kuat dan dihormati bersama.. Hal ini berubah drastis dengan diundangkannya UU No. 5 tahu 1979 tentang Pemerintah Daerah. Kepala Desa hanya diberi kesempatan memerintah selama 8 tahun, boleh menjabat 2 periode alias 16 tahun. Situasi berubah kultur masyarakat juga ikut berubah, yang tadinya kepemimpinan itu merupakan jabatan sangat berwibawa bahkan tampak sakral, tidak pernah berhitung untung rugi, berubah menjadi cair dan akhirnya jabatn tersebut berbau komersil jauh dari rasa pengabdian.

Mulai timbulnya biaya tinggi,

Seiring adanya perubahan tatacara pemilihan kepala desa, berubah pula orientasi tujuan menjadi pemimpin desa, hal ini juga selaras dengan perubahan sosio politik masyarakat perdesaan yang tadinya tidaklah mengenal politik namun sejak Golkar berkuasa dan para kepala desa harus mendukung dan wajib menjadi tokoh politik sekaligus, pecahlah kerukunan rakyat. Masyarakat terbelah menjadi 2 kubu, kubu lurah dengan kubu kyai / ulama. Dan partai ini pulalah yang mengenalkan adanya iming-iming sebagai kompensasi sebagai tanda tunduk patuh pada partai penguasa. Mulailah kesetiaan dan penghormatan kepada pemimpin dicoba dibeli dengan pemberian proyek pengaspalan jalan desa, pembangunan infrastruktur lain yang seolah memakmuran desa dengan mengabaikan keadilan dan pemerataan. Siapapun yang jadi kepala desa akan mendapat keuntungan financial dan politis, sehingga yang berkeinginan menjadi kepala desa akan menempuh cara apapun dengan bermodalkan uang yang cukup banyak.

Hal ini menular pada pemilihan bupati / walikota, gubernur, presiden. Kalau dulu harus membeli suara anggota DPRD II, DPRD I atau anggota MPR sekarang berubah seolah-olah mau tidak mau harus berani membeli suara rakyat. Baik untuk membentuk citra / image atau kampanye keliling wilayah, membayar tim sukses, membagi-bagi hadiah, kaos dan alat peraga lainnya termasuk bayar iklan dimedia yang jika dihitung ternyata cukup membutuhkan biaya berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar. Dengan begini hanya mereka yang berduit saja yang berani maju kedepan, padahal keadaan seperti ini pernah saya tulis di Suara Merdeka dan Kompas pada bulan Februari 2007 menjelang Pilgub Jawa Tengah antara lain saya menulis : “Sebetulnya untuk nyalon Gubernur ( konteks sekarang nyalon Bupati Kebumen ) tidak perlu takut biaya. Wong semuanya sudah dibiayai APBD Jateng ( APBD Kebumen ). Tinggal menfoto copy ijazah dan syarat-syarat lain lalu mendaftar ke KPU. Lainnya nggak ada coba biaya apa ? Sosialisasi dan cetak gambar calon sudah dilakukan oleh KPU, tidak usah repot-repot wong semua calon sedikit banyak sudah ngetop diwilayah ini paling tidak oleh segenap anggota partai pengusung, pembaca surat kabar, penonton TV, apalagi kalau mesin partai sudah berjalan baik, dengan modal kecil / secukupnya bisa terpilih menjadi Gubernur ( Bupati ). Dan maaf jangan coba-coba muwur orang se provinsi ( kabupaten ) disamping haram juga bakalan nggak kuat “

Kandidat dan partai rukun,

Semua sangat bisa menjadi Bupati dengan biaya “murah” asal para kandidat / tim sukses tidak terbakar nafsu “syaithan” suap sana suap sini pokoke harus jadi, padahal mereka semua rata-rata beragama Islam yang tahu persis hukum “riswah”. Apalagi kalau partai pengusung dengan segenap jajarannya termasuk kandidatnya mau dan bersedia rukun-rukun saja wong semua sahabat, malu satu yang lain ikut merasakan, apalagi kalau sampai jatuh miskin pasti akan kasihan juga melihatnya. Kandidat dan partai pengusung pasti sudah tahu kalau salah satu diantara mereka jadi, mereka juga akan mendapat manfaat bisa kerja sama terus menerus dalam banyak bidang. Yang satu menjabat Bupati yang lain bisa dibantu atau sebaliknya yang lain bisa membantu Bupati dalam menjalankan pemerintahannya. Semuanya untung tidak ada yang buntung, persahabatan tetap terjaga, jalannya rejeki terbuka lebar dalam jalinan silaturahmi yang abadi. Toh kalau disadari bersama bahwa kita semua tahu dan yakin seyakin-yakinnya tanpa diberi apapun pemilih terdaftar pasti akan berbondong-bondong menuju TPS. Contoh nyata dan tak dapat dibantah oleh siapapun, pada Pilpres, Pilgub dan Pileg lalu kita toh tidak mendapat apa-apa yang berupa pemberian, paling-paling kaos butut gambar calon seharga sepuluh ribuan tapi tetap mencontreng. Disisi lain pencalonan yang murah menjamin Bupati Kebumen mendatang pasti tidak akan “korupsi” disamping jaman juga sudah berubah,bola kejujuran dan kebenaran telah menggelinding dari Ibukota meluncur ke segala penjuru,apalagi kalau kejaksaan dan kepolisian telah “berbenah diri” termasuk para pengacara / advokat telah”bersalin rupa” tidak akan menjadi dan mencoba-coba jadi markus, nyamanlah langit Indonesia termasuk langit Kebumen.

Akhirnya mungkinkah Pilbup Kebumen bisa berjalan dengan biaya murah dan sederhana?. Jawabnya adalah sangat mungkin dan mestinya malah harus demikian.Asal mau dan sepakat “menuju Kebumen Bersih 2010” pasti tidak ada penghalang. Semua warga juga sepakat orang mau baik dan hasanah kok dihalang-halangi. Kalau yang tidak mau memilih karena alasan ekonomis besok-besok jangan mencari Bupati mohon ini mohon itu, karena tidak ada kewajiban Bupati untuk melayaninya karena mereka tergolong warga Negara yang tidak baik.

M.Syahri Nurwahab
Forum Penulis Kebumen
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar